JENDRAL SOEDIRMAN  

Diposting oleh bundor Bundor


Malam itu dedeorang tak dikenal datang ke Karangnongko, mau bertemu Pak Dirman. Tindak-tanduknya mencurigakan. Mungkin ia mata-mata musuh. Pasukan gerilya menusun rencana untuk menyelamatkan Panglima Besar, Pak Dirman. Pukul 05.00 diam-diam Pak Dirman pergi ke dalam hutan di utara desa. Setelah hari terang, Kapten Sup;ardjo, ajudan beliau menyuruh Palda Herukaser memakai mantel hijau Pak Dirman. Herukaser ditandu, persis seperti Pak Dirman, dibawa ke selatan desa. Sampai di sebuah rumah, Herukaser masuk, mantelnya ditinggalkan. Diam-diam, bersama Supardjo (kini MENDAGRI) herukaser pergi ke tempat persembunyian Pak Dirman. Ternyata rumah yang ditinggali mantel itu, sorenya dibom oleh pesawar terbang Belanda. Siasat berhasil. Pad Dirman selamat.
Kisah diatas adalah episode kecil dari masa gerilya Panglima Besar Sudirman bersama TNI yang tak mau menyerah kepada Belanda yang menduduki kembali Indonesia pada tanggal 19 Desember 1948.
Siapakah Sudirman ?
Ia lahir di Dukuh Rembang, Purbalingga Jawa Tengah 24 Januari 1916. Diambil sebagai anak angkat oleh kakak ibunya, yang menjabat asisten Wedana, yang sesudah pensiun pindah ke Cilacap dan bekerja sebagai penasehat hakim. Sudrman berhasil manamatkan pendidikan HIS di Cilacap.
Sejak kecil Sudirman sering tirakat yakni mengurangi makan dan tidur untuk meningkatkan mutu kejiwaan. Tidurpun hanya di lantai dengan selembar tikar. Sering dijumpai ayahnya, malam-malam Sudirman bersembahyang Tahajud. Tak pernah mau manja walau sebagai anak tunggal, serta orang tuanya terpandang dapat bebuat demikian sebenarnya.
Di HIS, Sudirman dikenal sebagai mrid pendiam, hanya nampak penuh gerak apabila ada bola yang harus disepak-sepak. Dan sebagai back dari club sepak bola, a pernah dikirim ke Bogor untuk bertanding, naik kereta api malam. Di sekolah Sudirman dikemal sebagai pemain sandiwara yang berbakat, gemar berkemah bersama Pekumpulan Kepanduan yang dipimpinnya. Selesai HIS, masuk MULO Wiworotomo di Cilacap juga, disinilah Sudirman bertemu dengan Pak Tirto Supono lulusan akademi Militer di Breda yang kemudian menyobek-nyobek ijasahnya dan memilih menjadi guru swasta dari pada menjadi tentara penjajah. Dari guru inilah Sudirman memperoleh gemblengan rasa kebangsaan dan ketrampilan bermain anggar.
Pada jaman Jepang, sebagai guru HIS Muhamadiyah yang kemudian latihan Daidanco, Sudirman berhasil tanpa kekerasan, menyita persenjataan dari tangan Jepang di Kroya dalam jumlah yang besar. Kemudian dengan kepemimpinannya berhasil mengusir sekutu di Ambarawa yang dikenal dengan Palagan Ambarawa. Tanggal 18 Desember 1945, Audirman dilantik sebagai Panglima Besar. Tiga tahun kemudian Sudirman sakit dan harus menjalankan operasi yang memberi istirahat kepada paru-parunya sebelah kanan. Sudirman hidup hanya dengan satu paru-paru.
Tiga minggu kekmudian, pada tangal 18 Desember 1948, di rumahnya di Bintaran Pak Dirman masih belum dapat bangun dari tidurnya. Suasana genting memang sudah terasa seperti sebelum perang kolonial ke-1 tahun 1947. Namun sebagian kalangan pemimpinan Republik Indonesia masih kuat kepercayaannya bahwa betapapun Belanda tak akan menyerang, seperti diancamkannya dengan istilah “doorstoot” karena perundingan waktu itu masih dilangsungkan terus dengan bantuan KTN (Komisi Tiga Negara) yang pada waktu itu masih berlangsung terus di Kaliurang.
Pada pagi hari Sabtu itulah kolonel Simatupang selaku Wakil Kepala Staf Angkatan Perang, melaporkan pada Pak Dirman keadaan yang genting di satu fihak, tetapi fihak lain dilaporkan pula anggapan pimpinan lain yang menyatakan bahwa secara politik Belanda belum dapat memulai serangan selama perundingan belum putus.
Pada saat itulah, sambl berbaring di tempat tidurnya, Pak Dirman seolah mendapat firasat, meminta supaya segera dumumkan; “saya ambil kembali komando, harakp ini diumumkan !”.
Ketika fajar hari Minggu menyingsing hampir semua mereka mendengar suara menderum dari pesawat-pesawat terbang di atas kota. Kemudian ledakan bom yang dijatuhkan dari pesawat Mitchel B – 25.
Tiga bulan sudah Pak Dirman tak pernah bangkit dari tidurnya, tetapi pagi Minggu itu keajaiban terjadi. Dia bangkit, berdiri dan memerintahkan sesuatu kepada ajudannya. Laporan situasi yang diterima pagi itu seolah memberinya semangat kembali.
Kaprten Supardjo diperingatkan ke istana untuk mendapat instruksi. Karena hingga jam 9 tak ada kabar, Pak Dirman tak sabar lagi. Dan memaksakan diri untuk menghadap Panglima Tertinggi di istana.
Nasihat Presiden agar Pak Dirman beristirahat saja, tak dapat diterima. Kepada Presiden Pak Dirman mengatakan, “Saya akan meneruskan perjuangan gerilya sekuat tenaga seluruh prajurit”.
Siang itu tubuh Pak Dirman masih sangat lemah. Belum sesuap pun nasi disantapnya sejak pagi. Tetapi dengan tegap ia berdiri dan bersiap melanjutkan perjuangan.
Senja sudah turun ketika Panglima Besar sampai di Kretek, 20 kilometer di sebelah selatan Jogja. Dr. Suwondo memeriksa kesehatan Pak Dirman dan heran ia bahwa kesehatan Pak Dirman sama sekali tidak jadi memburuk karena kegiatan sehari tadi.
Tengah malam, pukul 24.00 dengan bantuan Panewu Kretek, Pak Dirman menyeberangi sungai Opak menuju desa Grogol.
Senin 20 Desember 1948 diputuskan membuat tandu bagi Pak Dirman untuk menghemat tenaga beliau. Pejalanan gerilya yang berat dimlai. Medan perjalanan menuju Panggang sangat berat. Dimulai denganjalan setapak yang juga dialiri sungai dan menyerupai anak sungai, hingga akhirnya mendaki Gunung Kidul, yang penuh batu-batu besar dan tajam. Dalam keadaan yang sulit untuk ditandu, Pak Dirman dibimbing oleh Kapten Tjokropranolo terhuyung-huyung. Pada bagian jalan curam, Pak Dirman merangkak. Jatuh bangun karena badab yang lemah, tapi semangatnyha tetap menyala-nyala seolah memberikan obor pada malam yang gelap gulita.
Ibu kota dilaporkan telah diduduki musuh. Presiden/Panglima Tertinggi tidak jadi meninggalkan kota sehingga ditawan musuh.
Perjalanan diteruskan meskipun cuaca gelap pekat. Tak ada satu cahaya pun memberi dari rumah penduduk.
Kehujanan, kepanasan, kekurangan makan, sakit tak dirasakan, obat-obat yang rusak oleh hujan, semuanya menyertai perjalanan gerilya Pak Dirman yang 7 bulan lamanya, hingga akhirnya pada 7 Mei 1949 tentara Belanda ditarik dari Yogyakarta.
Dengan dijemput oleh Letnan Kolonel Soeharto, Pak Dirman kembali ke Jogya dan menerima parade yang mengharukan di alun-alun Utara. 10 Juli 1949 ketika itu dan tak lama kemudian Pak Dirman pun kembali dirawat di Panti Rapih.
Pak Dirman, Panglima Besar Angkatan Perang RI, wafat. Menurut Perhitungan Jawa sudah masuk hari Senin tanggal 30 Januari 1950.
Salam suasana muram taram temaram ini, dimakamkanlah jpahlawan bangsa Janderal Sudirman. Angin petang berhembus keras membawa awan tebal ke atas ibu kota Republik Indonesia, Jogjakarta.

Posts Relacionados

Seja o primeiro a comentar!

Posting Komentar