Putra sulung Raden Soewardji ini, dilahirkan 30 Juli 1888 di Ngepeh (Nganjuk) Jawa Timur. Nama aslinya Subroto, ketika oleh pamannya akan dimasukan ke sekolah Belanda ditolak. Keesokan harinya sang paman mendaftar kembali ke sekolah itu dan mengganti nama Subroto menjadi Sutomo. Anehnya tanpa kesulitan, ia diterima.
Sebelum usia 8 tahun, Sutomo dibesarkan oleh kakek-neneknya di Ngepeh yang memiliki rumah besar dengan halaman luas yang penuh pohon melati mengelilingi kolam ikan yang luas pula. Sutomo kecil hidup dilimpahi kasih sayang. Pernah ia sakit mata, oleh neneknya, tiap pagi matanya dibersihkan dengan air sejuk rendaman bunga melati, sedang angin pagi yang lembut membawa harum bunga melati. Kenangan manis ini hingga pada surat wasiatnya, Sutomo menulis agar kalau tidak dikunurkan di halaman Gedung Nasional Surabaya, supaya dikuburkan di dekat kolam yang dikelilingi bunga melati.
Sejak anak sulung Sutomo tumpuan harapan keluarga. Ayahnya ingin agar meneruskan ke sekolah kedokteran, tapi kakek-neneknya menghendaki Sutomo bekerja sebagai pangrehpraja, demi mengikkan martabar keluarga. Suatu ketika, ayahnya memeperkenalkan Sutomo kepada seorang murid sekolah dokter yang berpakaia perlente, jas putih dilengkapi peci yang bagus. Pakaian sebagus itu, teramat menarik, sebab orang lain yang pegawai negri berpakaian hitam. Sejak itulah Sutomo menetapkan untuk masuk sekolah dokter. Hal lain yang menyebabkan Sutomo tak ingin menjadi pegawai nwgri, suatu kejadian ketika ia dengan ayahnya sedang naik delman, tiba-tiba mereka bertemu dengan orang Belanda, ayahnya langsung turun dan berjongkok di depan Belanda itu. Sayang, ayahnya telah meninggal ketika Sutomo menamatkan sekolah dokter (STOVIA).
Usia belum genap 20 tahun, ketika 20 Mei 1908, ketika sutomo bersama Suraji, M. Funawan, dan berapa kawan, mendirikan Budi Utomo. Lewat Budi Utomolah, Sutomo ingin memajukan bangsanya, memberi pendidikan bagi rakya sekelilingnya. Ia tak meu dikatakan politikus, karena tujuan hanya memberi ajaran yang jujur, tanpa korupsi, tanpa mempermainkan rakyat lemah. Perkembangan Budi Utomo yang amat pesat, hampir Sutomo dikeluarkan dari STOVIA.
Meskipun kesadaran nasional belum gencar dikalangan Budi Utomo, organisasi ini tetap menggalang adanya persatuan. Sutomo menggambarkan pentingnya persatuan, yang diibaratkan seseorang yang bermain gamelan. Setiap pemain gamelan harus sadar adan fungsinya, arus tahu “irama yang harus diikutinya”, kapan ia “harus bermain” dan “kapan harus berhenti”.
Pendidikan di kampung-kampung menjadi pusat perharian Sutomo, lewat ludruk dan ketoprak, ia membima rakya jelata. Saat itu kaum muda harus segera dibina agar melahirkan bibit baru. Sutomo sangat menyadari akan kebutuhan lahirnya pemimpin baru. Ia menyatakan bahwa pemimpin yang tidak melahirkan pemimpim baru, bukanlah pemimpin.
Sutomo juga menekankan bahwa bila seseorang ingin memuliakan nusa dan bangsa, haruslah membimbing dan memajukan kesejahteraan rakyat di desa-desa, dan pendapat ini, tetap sangat relavan untuk keadaan negri kita saat ini. Sedangkan dalam kasus ini, otaktivitas harus lebih digerakkan.
Sutomo sebagai dokter sangat dermawan, pasiennya tak pernah dikenakan tarip, ada yang gratis, yang ingin menyumbang, disediakan kaleng diatas meja, untuk diteruskan sebagai fonds Budi Utomo. Sifatnya yang selalu merendahkan diri, dan lebih suka memuji orang lain, menyebabkan namanya tenggelam sebagai pendiri Budi Utomo. Sutomo yang memuji rekannya dokter Wahidin Sudirohusoda, sebagai seseorang yang punya andil mempelopori adanya gerakan kebangsaan.
Sampai akhir hayatnya Sutomo tak kenal putus asa menghimbau kaum ningrat, agar mereka terus berjuang untuk bangsanya. Setelah berjuang lewat segala rintangan Sutomo dalam usia 49 tahun wafat, sebelum perjuangannya membuahkan hasil. Demikianlah gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama. Dan nama Sutomo tetap tinggal bersama kita harum mewangi ibarat bunga melati. Bukan sekedar nama yang harum, ide-ide dan pandangan pak Tom tetap aktual dan penting bagi bangsa Indonesia masa kini.